Petang itu
wajah Afisa meredup bak remang malam yang mulai datang menyapa senja. Afisa,
seorang santriwati pondok pesantren yang "mewah", mepet sawah bernama
Pondok HIRMA. Dua tahun yang lalu ia tiba di pondok itu dengan semangat penuh
juang dan hati bersuka riang. Parasnya amat ceria, memancarkan pesona jiwanya yang sholeha. Balutan
jilbab lembut yang menutup kepala, menandakan ia benar benar gadis yang
hidupnya penuh makna. Matanya begitu tajam menatap misteri masa depan yang masih luas membentang.
Langkahnya pun begitu mantap, tuk menggapai harpan yang ia gantungkan jauh
diatas atap.
Tapi petang
itu, ada yang lain bergejolak pada dirinya. Jiwanya galau, resah tak tentu
arah. Hatinya bimbang, dengan apa yang ia alami akhir-akhir ini. Ada perasaan
lain yang hadir menyirami sekujur tubuh dan raganya. Perasaan yang tiba-tiba
hadir dan tak kuasa ia usir. Tak diduga ia punya rasa kepada seseorang di
pondok sebrang, di pondok HIRMA putra. Rasa yang ketika ia hanyut padanya,
hatinya turut berbunga. Jiwanya pun melayang bak menari di atas awan.
Pada suatu
kesempatan apel pagi di sekolah, Roozma didaulat untuk membacakan tasmi’
Al-Qur’an sebagai pembuka mengawali acara. Dengan mantap, suara merdunya
mengalun seiring dengan pancaran sinar mentari yang menghangatkan pagi itu. Afisa yang tengah
berdiri di barisan santri putri memperhatikan dengan seksama alunan itu.
Jiwanya tenang.., hatinya begitu sejuk, meresapi ayat demi ayat surat Ar-Rahman
yang sedang terlantunkan dari pribadi yang selama ini ia kagumi.
Sesekali, wajah Afisa terangkat, mencuri-curi pandang pada si dia, sang dambaan
hati.
Perasaan itu,
semakin lama semakin hanyut mengisi aliran darah Afisa. Waktu demi waktu
perasaan itu semakin kuat dan menggebu-gebu.
Afisa semakin hari semakin memahami, apa inilah yang namanya cinta?.
Cinta, yang sebagaimana orang diluar sana menyanjungnya setinggi dewa. Cinta
yang kata tetangga adalah pelita diatas cahaya. Cinta yang orang bilang adalah
bunga dari taman kehidupan. Cinta yang katanya tiada satupun insan yang kan
mampu bertahan hidup tanpanya. Sementara, selama ini Afisa memahami dari
lingkungan pondok dan ustadz-utadzahnya, cinta adalah fitrah insani. Ia adalah
karuna indah yang Allah SWT karuniakan kepada hamba-hambanya. Ia adalah
motivasi kehidupan, agar makin bernilai dan bermakna. Makanya ia harus dijaga
dengan aturan main Sang Pencipta.
Tak kuasa
menahan gejolak dan gelora jiwa, akhirnya Afisa memberanikan diri mencari cara
untuk mengungkapkan persaannya pada si dia. Ia mencari strategi terbaik, agar
cintanya tersampaikan pada Roozma. Lalu,
dipilihlah dengan cara mengirim surat yang ia selipkan melalui ibu petugas penghantar makanan ke pondok putra. Itu pun dengan model
rahasia tingkat tinggi, tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya.
Kini, perasaannya sedikit
plong, dengan terkirimnya surat cinta yang pertama kali ia buat sepanjang
sejarah hidupnya. Mulai hari itu, buku diary Afisa tertutup rapat untuk
teman-teman asramanya. Saat-saat setelah itu, lembar demi lembar buku
pribadinya, tergores coretan-coretan pena tentang cinta dan Roozma. Ia menjadi
lebih mahir menulis bait-bait puisi dan lantunan syair. Salah satu puisinya berjudul “Apakah ini Namanya Cinta”, bercerita
tentang gejolak perasaan yang terus mengisi hati dan alam pikirnya kepada
Roozma.
Sudah berhari-hari Afisa menanti jawaban dari
Roozma, Afisa mulai bimbang juga. Beberapa kali ia menghampiri ibu petugas
pengantar makanan sambil berbisik pelan, apakah sudah ada surat balasan atau belum.
Ternyata penantian panjang baginya segera terjawab. Pagi itu hari Ahad, di saat
teman-temannya sedang bergotog royong, di dapur pondok Afisa mendapati si ibu
petugas pengantar makanan menempelkan jemari tanganya kepada tangan Afisa.
Isianya, secarik kertas yang ditekuk menjadi delapan bagian. Kertasnya memang
biasa saja, hanya selembar kertas tengahan dari buku tulis Sinar Dunia. Tapi,
tulisan di dalamnya dinanti oleh Afisa melebihi tulisan bapak presiden untuk
dirinya.
Ketika
teman-teman asramanya terlelap dalam dekapan malam, pukul 00.00 malam itu Afisa
masih terjaga. Dengan pelan ia buka surat dari Roozma dengan jantung berdebar.
Dibacanya kata-demi kata tulisan di atas kertas putih itu. Tibalah ia pada
kalimat, “Aku juga punya persaan yang
sama denganmu, ukhti.., selama ini aku memperhatikan dirimu dan tertarik
padamu..,kita jadian ya”. Membaca tulisan itu, air mata haru jatuh
mengaliri pipi Afisa. Hatinya semakin mewangi penuh bunga. Jiwanya semakin
hanyut pada aura asmara anatara ia dengan Roozma. Dalam kesendiriannya itu,
seorang teman kamarnya tiba-tiba terbangun, dan menyapa Afisa, “ Mbak.., kenapa
menangis mbak?”. Degan kaget Afisa pun menjawab, “ Anu.., eh anu.., aku
tiba-tiba kangen sama ibuku”.
Asmara
diantara dua insan ini pun semakin lama semakin menggelora. Berbagai cara untuk
menyambung cinta kasih selalu dilakukan. Hari demi hari kehidupan mereka
diwarnai dengan gelora jiwa, walau hanya lewat tulisan dan lirikan mata sejauh
jarak pandang. Puncaknya, saat liburan panjang
tiba, mereka pun sudah biasa berkirim pesan cinta, melalui sms-an,
cahating-chatingan, dan ngobrol berjam-jam lewat telpon dikala malam. Bukan hanya itu, bahkan mereka sudah berani
ketemuan, berpacaran sebagaimana sepasang kekasih yang bertebaran di luar sana.
Singkat
cerita, akibat dari sibuk hubungan cinta yang buta ini, nilai akademik mereka
jatuh. Mereka tetinggal di kelas, dan tidak fokus lagi menghadapi pelajaran. Begitu juga di pondok,
hafalan Quran mereka jadi berantakan. Lama-lama, mereka merasakan akibat yang
tak baik dari hubungan mereka. Waktu yang terus berlalu hubungan mereka membawa
masalah demi masalah. Akhirnya mereka jenuh juga, menyadari diri tentang
kealpaan jiwa. Tersadar betapa mereka telah menghianati nilai-nilai Islami
pondok pesantren yang luhur dan dijunjung tinggi.
Tibalah di
suatu sepertiga akhir malam, Afisa kembali menyendiri, kali ini ia duduk di
pojok Mushola pondok putri. Ia sangat menyesal dengan apa yang telah ia lakukan
selama ini. Ia hanyut dalam sujud panjang penyesalan. Air matanya berderai
membasahi sajadah merah dalam remang gulita kesunyiaan. Tubuhnya begitu terguncang
menuding diri, atas segala kesalahan dan khilaf yang berkepanjangan. Ia
menengadahkan tangan sembari berdoa seiring deraian air mata, “Ya Rabb.., maafkan aku yang telah menduakan
cintaMu.., Ya Rabbi.., ampuni aku atas kebodohan jiwa dan bermaksiat kepada Mu.
Ya Allah.., kembalikan aku pada jalan Mu yang indah membentang”.
Pagi itu
Afisa putuskan untuk kembali menyurati Roozma, tapi kali ini surat untuk
mengakhiri hubungan diantara mereka dan mengajak kembali pada cinta-Nya.
Mendapat surat itu, Roozma yang juga sudah menyesal dengan tulus sepakat
mengakhiri hubungan gelap dan bertaubat. Bulan demi bulan berlalu, mereka
kembali menjadi santri yang lurus. Kehidupan mereka kembali penuh kebermaknaan
jiwa. Hati mereka kembali bersih menyongsong diri memenuhi panggilan suci
sebagai generasi Rabbani. Merekapun
lulus sekolah dan pondok dengan capaian yang cukup memuaskan
------wasis abuifa-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Monggo Saling Belajar